Minggu, Februari 08, 2009

HATI-HATI MENJADI KAFIR.... PEMERINTAH INDONESIA DIPANDANG DARI SISI TAUHID

I. MEREKA MENJADI THAGHUT

Kenapa demikian ?, ini karena mereka dengan dewan legislatifnya dan sebagian eksekutifnya mengklaim sebagai pembuat hukum, mengklaim yang berhak membuat hukum dan perundang-undangan, bahkan mereka telah membuat dan memutuskan, maka mereka adalah thaghut itu sendiri. Mereka menjadi pembuat hukum yang hukumnya diikuti (baca: diibadati) oleh ansharnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu”. (An Nisa: 60)

Banyak masyarakat atau anshar thaghut atau siapa saja di antara mereka, ketika memiliki kasus di negeri ini, apakah mereka mengajukan kasusnya kepada hukum Allah ataukan kepada hukum selaim hukum Allah ? tentu mereka mengajukannya kepada hukum selain hukum Allah, yang mana hukum itu dibuat oleh para thaghut tadi di gedung Palemen, baik yang ada di lembaga legislatif atau lembaga eksekutif maupun para pemutusnya di dewan yudikatif.

Mereka adalah thaghut, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalan Risalah Fie Ma’na Thaghut, bahwa pentolan thaghut yang kedua adalah “Penguasa Dzalim Yang Merubah Ketentuan Allah”. Sedangkan di negeri ini, semua hukum Allah dirubah… mulai dari hukum pidana, perdata, ekonomi, dan lain-lain. Semua dicampakkan dan mereka sepakat tidak memakai hukum yang Allah turunkan. Sedangakan sesorang tidak bisa dikatakan sebagai orang muslim kecuali bila kafir kepada thaghut. Dan dalam hal ini mereka sendiri adalah thaghutnya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”. (QS. At Taubah: 31)

Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:

1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi rab.

Imam At Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang hahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka atau kami telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka. Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?”. Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib)

Ketika mereka menyandarkan hak hukum dan pembuatan hukum (tasyri’) kepada selain Allah, maka yang mengaku memiliki hak membuat hukum ini disebut arbab, yaitu yang memposisikan dirinya sebagau tuhan pengatur selain Allah. Saat hukum itu digulirkan dan diikuti, maka itu adalah arbab yang disembah.
Orang yang sepakat di atas hukum ini atau yang mengacu atau yang merujuk pada hukum yang mereka gulirkan itu adalah orang yang Allah vonis sebagai orang musyrik yang menyembah atau mengibadati atau mempertuhankan mereka serta telah melanggar Laa ilaaha illallaah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”. (Al An’am: 121)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.

Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu 'anhu: Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya ?”, Rasulullah mengatakan: “Allah yang membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan: “Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangakan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang Mulia dengan pisau dari emas kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah”.

Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, dan Allah katakan bahwa itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika menyetujui dan mentaati mereka, menyandarkan kewenangan hukum kepada selain Allah meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja (yaitu penghalalan bangkai) dengan firman-Nya “Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik”.

Dalam ayat di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan bahwa:

1. Hukum yang bukan dari-Nya adalah wahyu syaitan.
2. Para penggulirnya (yang mengklaim dirinya berhak membuat hukum) dari kalangan manusia disebut wali-wali syaitan.
3. Yang menyetujuinya atau yang taat atau yang merujuk kepadanya disebut musyrikun.

Bila satu hukum saja dipalingkan dalam hak pembuatannya kepada selain Allah, maka berdasarkan ayat tadi, bahwa orang yang membuat hukum itu disebut wali-wali syaitan (tahghut) yang telah mendapat wahyu atau wangsit dari syaitan, sedangkan orang yang mentaatinya atau setuju dengan hukum buatan tersebut adalah divonis sebagai orang musyrik.

Sedangkan yang ada di NKRI ─dan negara-negara lainnya─ adalah bukan satu, dua, tiga, sepuluh, atau seratus hukum saja, akan tetapi seluruh hukum yang ada di sini adalah bukan dari Allah, tapi dari wali-wali syaitan yang mendapat wahyu dari syaitan jin, baik wali-wali syaitan itu dahulunya orang Belanda (yang mewariskan KUHP) ataupun wali-wali syaitan zaman sekarang yang duduk di kursi parlemen, yang membuat, yang merancang, yang menggodok, atau apapun namanya dan siapapun yang membuat hukum, maka pada hakikatnya mereka adalah wali-wali syaitan dan hukum yang mereka gulirkan hakikatnya adalah hukum syaitan.

Perhatikanlah… jika saja orang-orang yang SEKEDAR mentaati mereka maka Allah memvonisnya sebagai orang musyrik, maka apa gerangan dengan pembuatnya atau orang yang memutuskan dengannya atau orang yang memaksa masyarakat untuk tunduk kepadanya dengan menggunakan besi dan api (kekuatan dan senjata)…?!!

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dalam dien (ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah ?”. (Asy Syura: 21)
Dalam ayat tersebut, siapa saja yang membuat syari’at atau hukum atau undang-undang atau ajaran yang tidak diizinkan oleh Allah dinamakan syuraka (sekutu-sekutu), karena mereka memposisikan dirinya untuk diibadati dengan cara menggulirkan hukum agar diikuti. Mereka merampas hak pembuatan hukum dari Allah, mereka merancang, menggodok, dan menggulirkan di tengah masyarakat. Sedangkan orang-orang yang mentaati atau mengikuti hukum itu disebut orang yang menyembah syuraka tersebut.
II. MEREKA BERHUKUM DENGAN SELAIN HUKUM ALLAH ATAU MEMUTUSKAN DENGAN HUKUM THAGHUT

Mereka berhukum dengan hukum thaghut, karena selain hukum Allah yang ada hanyalah hukum jahiliyyah atau hukum thaghut, ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Maidah: 44:

“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir”.
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”

Dalam ayat-ayat di atas, orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan adalah orang-orang kafir, sedangkan pemerintah di negeri ini tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, akan tetapi memutuskan dengan hukum thaghut. Maka merekapun divonis kafir berdasarkan ayat-ayat seperti ini, bahkan Allah mevonis orang-orang yang seperti ini sebagai orang-orang zalim dan fasiq dalam surat Al Maidah: 45 & 47.

Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan dalam Risalah Fie Makna Thaghut, tentang Ruusuth Thawaghit (tokoh-tokoh para thaghut) yang ketiga yaitu: Yang Memutuskan Dengan Selain Apa Yang Allah Turunkan.

Jadi pemutus hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah adalah bukan sekedar thaghut, akan tetapi termasuk pentolan thaghut. Sedangkan iman kepada Allah tidak sah kecuali dengan kafir terhadap thaghut, lalu bagaimana mungkin Pemerintah NKRI ini dikatakan sebagai pemerintah muslim mukmin, sedangkan mereka bukan sekedar thaghut, akan tetapi salah satu tokohnya thaghut… maka mereka bukan hanya sekedar kafir, tapi amat sangat kafir !.
III. MEREKA MERUJUK KEPADA HUKUM THAGHUT, BAIK THAGHUT LOKAL, REGIONAL MAUPUN INTERNASIONAL

Disaat menghadapi masalah, masalah apa saja, maka pemerintah ini tidak merujuknya kepada hukum Allah, tapi kepada hukum thaghut yang bersifat lokal (seperti Undang Undang Dasar atau undang-undang atau yang lainnya), atau hukum-hukum regional, atau hukum-hukum yang ditetapkan oleh mahkamah Internasional PBB. Sungguh… mereka tidak merujuk kepada Al Qur’an atau As Sunnah, akan tetapi merujuk kepada selainnya.

Sedangkan dalam surat An Nisa: 60 tadi; Allah merasa heran atas klaim orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab Allah sebelumnya, orang-orang yang ketika punya masalah justeru ingin berhakim (mengadukan urusan) kepada thaghut. Perhatikanlah, dalam ayat tersebut sekedar ingin berhukum kepada thaghut sudah Allah nafikan keimanannya, imannya dianggap sekedar klaim dan kebohongan belaka, maka apa gerangan dengan orang-orang yang benar-benar bersumpah untuk merujuk kepada hukum thaghut…?!

Pemerintah ini, ketika masuk PBB diwajibkan untuk berikrar setuju atas segala peraturan yang digariskannya, begitu juga ketika jajaran pemerintahan dewan legislatif, eksekutif, yudikatif terbentuk, setiap orang diwajibkan bersumpah setia untuk menjalankan hukum negara, inilah syahadat mereka ! inilah bai’at mereka.

Apakah di Negara ini ada bai’at untuk taat setia kepada Al Qur’an dan As Sunnah ? tentu jawabannya tidak ada ! maka dari itu setelah bai’at kepada Undang Undang Dasar selesai, mereka selalu mengacu kepadanya, jika seorang Presiden misalnya menyimpang, maka DPR/MPR akan memprotesnya dan mengatakan: “Presiden telah melanggar Undang Undang Dasar atau undang-undang atau… atau…” dan tidak akan mengatakan “Presiden telah melanggar Al Qur’an ayat sekian…” Andaikata seluruh isi Al Qur’an dilanggarpun, maka mereka tidak akan mempermasalahkannya, asal tidak melanggar “hukum suci” mereka, yaitu Undang Undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa orang yang berhakim dengan hukum Allah yang telah dihapus adalah kafir, beliau menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya daripada ajaran Allah, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119)

Ilyasa adalah kitab hukum yang dibuat oleh Jenggis Khan raja Tartar. Kitab ini merupakan kumpulan yang sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al Qur’an dan ajaran ahli bid’ah ditembah dengan hasil buah fikirannya lalu dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq.

Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk kepada kitab hukum ini, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin. Maka demikian pula dengan Yasiq ‘Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang Undang Dasar, KUHP, dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti orang Belanda dengan KUHPnya), dan ada juga dari Islam seperti masalah pernikahan.

Jadi ternyata serupa, maka siapa saja yang merujuk pada Yasiq modern ini, maka iapun kafir dengan ijma kaum muslimin, sedangkan perujukan-perujukan ini telah dilakukan oleh pemerintah NKRI ini…!!

IV. MEREKA MENGANUT SISTEM DEMOKRASI

Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kedaulatan/kekuasaan). Sistem ini merupakan penyerahan hak hukum atau kedaulatan kepada rakyat. Sistem perwakilan yangada di dalamnya memberikan hak ketuhanan kepada wakil rakyat yang didik di parlemen untuk membuat, menetapkan dan memutuskan hukum.

Demokrasi merupakan salah satu bentuk perampasan hak khusus Allah dalam At Tasyri’ (pembuatan, penetapan dan pemutusan hukum atau undang-undang). Hak ini adalah hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hak khusus rububiyyah dan uluhiyyah Allah, hak khusus yang seharusnya disandarkan oleh makhluk hanya kepada Allah. Akan tetapi demokrasi merampasnya dan justeru hak itu diberikan kepada makhluk. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Hak memutuskan hukum itu hanyalah khusus kepunyaan Allah. Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah dian yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Yusuf: 40)

firman-Nya “Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”, bermakna: Kalian diperintahkan untuk tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, karena Allah-lah yang berhak untuk membuatnya, untuk menentukannya. Dan dalam ayat ini penyandaran hukum kepada Allah disebut ibadah. Sedangkan dalam demokrasi; hukum disandarkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya, maka demokrasi adalah sistem syirik, karena memalingkan ibadah penyandaran hukum kepada selain Allah.

Demokrasi adalah sistem syirik yang membangun pilar-pilarnya di atas sekularisme, di atas kebebasan; bebas meyakini apa saja walaupun pendapat syirik atau kekafiran sekalipun. Demokrasi tidak mewajibkan menusia untuk taat kepada ajaran Allah, tapi harus taat kepada kesepakatan rakyat, tatanan perundang-undangan yang berlaku, yang mana notabene adalah hukum buatan manusia.

Mereka memiliki Idiologi/falsafah/asas/pedoman/petunjuk hidup/nafas bangsa, yaitu Pancasila.

Pancasila adalah dien, karena dien adalah jalan hidup, agama, aturan dan pedoman hidup, falsafah atau silahkan orang menyebutnya apa saja… tapi yang jelas Pansacila adalah dien. Ini singkat saja kita tinjau.

Dalam Pancasila dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi kita tidak tahu siapa yang dimaksud, karena Pancasila mengakui berbagai agama dengan tuhan-tuhannya masing-masing yang beraneka ragam. Maka cukuplah falsafah ini menjadi sesuatu yang rancu bagi orang yang berakal.

Tawalliy (loyalitas penuh) kepada kaum musyrikin

Mereka loyal kepada Perserikatan Bangsa Bangsa, tunduk kepada undang-undang internasional dan peraturan lainnya yang adala dlam tubuh PBB. Apapun yang ditetapkannya maka otomatis diikuti. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum muslimin untuk loyal kepada orang-orang kafir, Allah menyatakan dalam surat Al Maidah: 51:

“Siapa saja yang tawalliy di antara kalian terhadap mereka maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka”

Mereka memperolok-olok ajaran Allah

Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang segala bentuk kemungkaran, sedangkan pemerintahan Negara ini justeru memberikan izin bagi beroperasinya tempat-tempat kemungkaran dengan dalih tempat hiburan), membiarkan berkembangnya media-media penebar kesyirikan, kekufuran, kerusakan dan kebejatan (dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi) dan lain-lain. Itu adalah beberapa perolok-olokan terhadap ajaran Allah, sedangkan memperolok-olok ajaran Allah adalah kekafiran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman”. (At Taubah: 65-66).

Intinya, jelaslah bahwa Negara dan pemerintahan ini kekafirannya berlipat-lipat. Setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak tunduk pada aturan Allah, maka negara tersebut adalah negara kafir, negara dzalim, negara fasiq dan negara jahiliyyah berdasarkan firman-firman Allah tersebut. Begitu juga pemerintahnya, karena tidak akan berdiri suatu negara tanpa ada pemerintah pelaksananya.

Setelah memahami hal ini, maka kita bisa menyimpulkan bahwa TIDAK BENAR ketika orang memerintahkan kaum muslimin untuk loyal kepada pemerintah semacam ini dengan menggunakan dalil surat An Nisa: 59, karena ulil amri dalam ayat tersebut adalah “dari kalangan kalian” yang berarti dari kalangan orang-orang yang beriman, sedangkan pemerintahan NKRI ini sudah kita ketahui bahwa mereka BUKAN orang-orang yang beriman, akan tetapi justeru mereka adalah adalah thaghut, orang musyrik, orang-orang kafir, orang-orang murtad. Jadi, jelaslah tidak sesuai dengan pemerintah ini.

Akan tetapi yang tepat bagi pemerintah semacam ini adalah:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (At Taubah: 12)

Jadi yang tepat bukan harus ditaati, bukan pula diberi loyalitas, akan tetapi yang ada adalah sikap qital (perang).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Maka bunuhilah orang-orang musyrik itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka, kepunglah mereka dan intailah ditempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan” (At Taubah: 5)

Jika mereka bertaubat, maksudnya bertaubat dari kemusyrikannya, dari kethaghutannya, dari kekafirannya, mereka mendirikan shalat dan memuanikan zakat, maka berilah mereka jalan dan jangan diganggu. Sedangkan jika pemerintahan ini tidak bertaubat dari kethaghutannya, dari Pancasilanya, dari demokrasinya dan dari kekufuran lainnya, maka mereka masih masuk ke dalam cakupan ayat ini.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu” (An Nisa: 76)

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dalam rangka mengokohkan hukum Allah, menjunjung tinggi ajaran-Nya, sedangkan orang-orang kafir yang di antaranya adalah pemerintahan NKRI ini dan ansharnya mereka berjuang, berperang, berkiprah dengan segala cara dalam rangka mengokohkan sistem thaghut.
Jadi, mereka berperang di jalan thaghut, maka bagaimana seharusnya sikap kaum muslimin ? Allah menyatakan “sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu”.

Perhatikanlah… mereka bukan ulil amri, akan tetapi mereka adalah wali-wali syaitan yang Allah perintahkan untuk memeranginya.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan perangilah mereka itu, sampai tidakada fitnah, dan dien (ketundukan) hanya bagi Allah semata” (Al Baqarah: 193)

Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, tidak ada lagi idiologi syirik, tidak ada lagi kekafiran, tidak ada lagi penghalang kepada jalan Allah, tidak ada lagi penindasan terhadap kaum muslimin yang taat kepada Allah… bukan taat kepada Pancasila atau Undang Undang Dasar atau demokrasi, tapi hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Selama Ad Dien (ketundukan) belum sepenuhnya kepada Allah, maka al qital (perang) belum berhenti, selama fitnah (bencana) terhadap kaum muslimin yang taat dan berkomitmen dengan ajaran Allah masih dikejar-kejar atau dipersempit hidupnya, masih ditangkapi, dipenjarakan dan masih dibunuhi… maka berarti masih ada fitnah !! Selama kemusyrikan didoktrinkan maka fitnah masih ada. Selama fitnah masih ada maka al qital tidak akan berhenti.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah tenhadap) orang-orang dahulu (dibinasakan)”. Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya dien itu semata-mata untuk Allah”. (Al Anfal: 38-39)

Jadi, al qital tidak akan berhenti terhadap para penguasa yang menentang aturan Allah, yang menyebar fitnah (bencana) kemusyrikan dan penindasan terhadap kaum muslimin, merampas dan memeras harta kaum muslimin, baik dengan cara kasar maupun halus, maka qital tidak akan berhenti terhadap pemerintah yang seperti ini.

“Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka merasakan sikap tegas dari kamu” (At Taubah: 123)

Perangilah orang-orang yang ada disekitar kamu, yang ada didekat kamu dan dalam realitanya bukan hanya dekat, akan tapi mereka telah menguasai harta, diri, dan tanah air kita. Merekalah thaghut penguasa negeri ini, merekalah orang-orang kafir itu. Mereka telah sekian lama memerangi, menindas diri dan merampas harta kaum muslimin. Mereka mewajibkan ini dan itu yang bertentangan dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Merekalah orang-rang kafir yang dekat, maka tidak usah jauh-jauh pergi berperang untuk mencari orang kafir, ini yang dekat justeru sudah memusuhi dan memerangi semenjak dahulu. Bahkan para ulama sepakat bahwa memerangi penguasa murtad adalah lebih harus didahulukan memeranginya daripada orang-orang kafir asli, apalagi orang-orang kafir yang jauh…
Hadits Ubada ibnu Shamit (HR. Bukhari dam Muslim)

“Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajak kami, maka kami membai’atnya, maka di antara yang beliau ambil janjinya atas kami adalah kami membai’at(nya) untuk senantiasa mendengar dan taat, disaat senang dan disaat benci, diwaktu sulit dan waktu mudah kami, serta saat kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak merampas urusan dari yang berhak (penguasa) kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata dengan bukti dari Allah yang ada pada kalian”

Sedangkan kita sudah banyak melihat bentuk-bentuk kekafiran yang dianut dan masih senantiasa dilakukan penguasa negeri ini, sehingga tidak layak berdalil dengan surat An Nisa: 59 untuk menggelari pemerintah ini sebagai ulil amri, akan tetapi yang tepat adalah ayat-ayat yang baru saja dibahas dan ditambah dengan hadits ini.

Para ulama sepakat bahwa orang kafir tidak sah untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin. Bila pemimpin tersebut asalnya muslim kemudian muncul kekafiran darinya maka wajib untuk mencopotnya dan menggantinya dengan pemimpin yang muslim. Bila tidak mampu mencopotnya karena mereka menggunakan kekuasaan untuk mempertahankannya, maka wajib diperangi.

Namun dalam relaita zaman ini, kekafirannya bukanlah kekafiran yang bersifat personal, akan tetapi kekafiran yang kolektif dan tersistemkan, sehingga jika penguasa yang satu mati maka sistemnya belum mati dan orang-orang yang setelahnya akan menggantikan dia, karena sistem kafirnya tidak mati dan tetap mengakar.

Tugas kita adalah wajib menggalang kekuatan dengan langkah awalnya adalah mengerahkan segala kemampuan dalam menggencarkan dakwah tauhid yang berkesinambungan untuk mencabut akar-akar loyalitas terhadap thaghut di tengah masyarakat, sehingga thaghut tidak mempunyai tempat lagi di tengah-tengah masyarakat ini.

Jihad terhadap thaghut ini haruslah menjadi opini kaum muslimin, kaum muslimin harus merasa memiliki tanggung jawab terhadap masalah ini, sehingga tidak hanya dipikul oleh kelompok-kelompok tertentu saja. Bukan berarti seluruh kaum muslimin harus terjun dengan menenteng senjata, tapi yang paling penting bagi mereka adalah mereka adalah mereka harus memahami betul bahwa penguasa negeri yang mana mereka hidup di dalamnya adalah penguasa murtad kafir yang tidak boleh diberikan loyalitas, sehingga dengan kesadaran itu lunturlah dukungan kepada para thaghut dan tumbuhlah loyalitas kepada orang-orang yang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Bila ini terwujud, maka kondisi akan berubah, dukungan kepada thaghut akan berganti dengan penentangan, sehingga mudahlah untuk menjatuhkan para thaghut itu.

BERSABARLAH…!!! Proses ini tidak mudah dan tidak akan terjadi begitu saja, tahap awal yang patut dilakukan adalah memberikan bayan (penjelasan) atau penyampaian risalah tauhid, karena perlu penyadaran terhadap masyarakat tentang kenapa penguasa negeri ini dikatakan sebagai penguasa kafir. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu” (Al Baqarah: 191)

Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka pernah mengusir kaum muslimin. Rasulullah diperintahkan untuk mengusir orang-orang kafir sebagaimana mereka telah mengusir Rasul shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Perhatikan… para thaghut itu telah mengeluarkan orang-orang yang komitmen dengan ajaran Islam dari jajaran masyarakat dengan cara menanamkan image negatif tentang mereka, memprovokasi, memfitnah dan membodoh-bodohi masyarakat dengan menuduh orang-orang yang bertauhid sebagai orang-orang bodoh, tidak memahami Islam secara utuh, orang yang dangkal pikiran atau orang yang haus dunia dan kekuasaan, maka menjadi wajiblah pula bagi kaum muslimin untuk mencopot para thaghut ini dari benak masyarakat dengan cara menyebarkan ilmu syar’iy, khususnya tentang tauhid dan kewajiban memerangi penguasa semacam itu.

Begitu pula dalam masalah harta, sebagaimana para thaghut itu telah menjauhkan orang-orang berkomitmen dengan ajaran Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari harta mereka, bahkan thaghut selalu berupaya mempersulit hidup mereka, maka wajib pula bagi orang-orang yang bertauhid yang komit terhadap ajaran-Nya untuk menjauhkan thaghut dari harta yang mereka miliki, karena sebagian besar harta yang jatuh ke tangan thaghut digunakan untuk mempersenjatai tentara mereka untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya, oleh sebab itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan orang-orang Quraiys agar dilanda paceklik, dengan tujuan agar mereka mendapatkan kesusahan sehingga tidak lagi menindas kaum muslimin dan dana yang mereka keluarkan tidak digunakan untuk mendukung hal itu. Maka haramlah atas setiap muslim untuk membayar atau menyerahkan harta kepada penguasa kafir dalam bentuk apapun, kecuali dalam kondisi terdesak atau dipaksa, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (Al Maidah: 2)

dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala:

“Janganlah kalian menyerahkan harta-harta kalian kepada orang-orang bodoh itu” (An Nisa: 5)

Perhatikanlah… jika Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang menyerahkan harta kaum muslimin kepada orang-orang yang tidak bisa menggunakan dengan benar, sedangkan bentuk kebodohan yang paling dasyat adalah orang-orang yang tidak suka dengan ajaran tauhid, salah satunya yaitu para thaghut. Allah menyatakan:
“Dan tidak ada yang benci kepada Milah Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri” (Al Baqarah: 130)

Jadi, seharusnya harta yang diambil dari kaum muslimin, mereka pergunakan di jalan Allah, bukan di jalan thaghut yang digunakan untuk memerangi Allah dan kaum muslimin.

Hendaklah diketahui bahwa pemerintahan thaghut ini adalah pemerintahan yang tidak sah, tidak syar’iy, tidak diakui secara Islam. Mereka adalah pemerintah yang memaksakan diri, begitu pula hukum dan undang-undangnya tidak sah, oleh sebab itu kaum muslimin tidak memiliki kewajiban untuk taat pada aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah thaghut ini, bahkan bebas untuk melanggarnya selama memenuhi dua syarat, yaitu: selama tidak melakukan sesuatu yang dilarang syari’at dan selama tidak menzalimi orang muslim.

Demikianlah sikap kita kaum muslim terhadap para thaghut penguasa negeri ini, bukan loyalitas dan taat kepada mereka, tapi ingatkah bahwa kita adalah orang-orang yang ditindas, diperangi dengan berbagai cara; kasar dan halus, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi, tapi… sungguh banyak kaum muslimin tidak menyadarinya. Ini karena kebanyakan kaum muslimin belum memahami hakikat Laa ilaaha illallaah. Mereka mengira penguasa negeri ini adalah muslim, karena para thaghutnya itu shalat, shaum, zakat, bahkan haji berkali-kali, padahal penguasa negeri ini telah melanggar hal yang paling penting dan fundamental, yaitu syahadat Laa ilaaha illallaah…
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat serta para pengikutnya sampai hari kiamat. Alhamdulillahirabbil’alamiin…


Abu Sulaiman Aman Abdurrahman


Sumber : Tegak Lurus Ke langit

Tidak ada komentar: